Tuesday 19 January 2010

Selamatkan Ruh Kita..!

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Segala puji hanya milik ALLAH SWT, Tuhan Semesta Alam, Tuhan yang Maha Berkehendak, Tuhan yang menghidupkan dan mematikan makhluk. Tiada Tuhan selain ALLAH.

Shalawat serta salam yang setinggi-tingginya bagi junjungan Nabi Agung Muhammad Rasulullah SAW, Sang Abduhu wa Rasuluh sekaligus Penghulu para Nabi dan Rasul yang telah berhasil mengubah dunia dari kegelapan menjadi dunia yang terang benderang penuh peradaban.

Salam dan khidmat yang sekhalis-khalisnya bagi para Ulama Pewaris Nabi sejak zaman Sahabat sampai dengan saat ini dan hingga akhir zaman kelak. Mereka adalah para ’khalifah’ Rasul yang tugasnya adalah meneruskan dakwah Rasul yaitu memperbaiki dan menyempurnakan akhlaq ummat serta membimbing ruhani ummat dalam menghampirkan diri (munajat) kehadirat ALLAH SWT.

Para pencari ilmu yang budiman,

ALLAH SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185 & Al-Ankabuut: 57).


Maksud dari ayat itu menjelaskan bahwa setiap makhluk hidup seperti manusia, hewan maupun tumbuhan akan mati. Walaupun manusia itu kaya, tampan, tinggi pangkat dan kedudukannya, kalau sudah saatnya mati, maka tidak ada seorang pun yang dapat mencegah datangnya Malaikat Maut untuk mencabut nyawanya. Sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an:

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَاَ

”ALLAH sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya.” (QS. Al-Munafiqun: 11).


Tidak diragukan lagi bahwa kita akan mati, entah kapan waktunya yang jelas hanya ALLAH-lah yang mengetahuinya. Bisa saja kita mati besok atau lusa, Wallahu a’lam. Oleh karena itu, mati tidak perlu kita takuti karena pasti terjadi, tetapi kita perlu takut pada apa yang akan terjadi setelah mati. Untuk itu kita perlu mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah mati. Karena kehidupan setelah mati (akhirat) adalah kehidupan yang kekal abadi. Di dunia inilah tempat kita mencari bekal untuk menyambut kehidupan akhirat. Jadi dunia bukanlah tempat untuk berfoya-foya mencari kesenangan. Kesenangan dunia bersifat sementara, sedangkan kesenangan akhirat adalah surga yang bersifat kekal. Renungkanlah firman ALLAH dalam Al-Qur’an, ”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’aam : 32).


Bila kita perhatikan dengan cermat, manusia itu pada hakikatnya adalah pengendara di atas punggung usia. Ia menempuh perjalanannya melewati hari demi hari menjauhi dunia dan mendekati liang kubur. Dalam hal ini ada seorang bijak yang mengutarakan keheranannya, ”Aku heran terhadap orang yang menyambut dunia yang sedang pergi meninggalkannya, tetapi malahan berpaling dari akhirat yang justru sedang berjalan menuju kepadanya.”


Ada suatu cerita tentang seorang nabi yang pernah berdialog dengan Malaikat Maut. Nabi Allah ini bermohon kepada Malaikat Maut, ”Wahai Malaikat Maut, bila tiba waktunya Engkau diperintah ALLAH untuk mencabut nyawaku, sudikah Engkau menampakkan dirimu jauh-jauh hari sebelumnya untuk memperingatkan aku?”

Malaikat Maut pun spontan menjawab, ”Karena Engkau Nabi Allah, aku akan penuhi permintaanmu itu.”


Singkat cerita, setelah beberapa lama kemudian datanglah Malaikat Maut menjumpai Sang Nabi yang saat itu sedang lesehan melepaskan lelah, ”Wahai Nabi Allah, tibalah saatnya aku ditugaskan ALLAH untuk menjemputmu.”

Dengan penuh keheranan Nabi itu pun bertanya, ”Bukankah Engkau telah berjanji padaku akan memperingatkan aku jauh-jauh hari sebelum saat ini terjadi? Mengapa Engkau sekarang ingkar janji?”

Kata Malaikat Maut, ”Wahai Nabi Allah, sebenarnya aku ini tidak ingkar janji, hanya Engkau saja yang tidak menyadari. Bukankah aku telah ’menampakkan’ diriku berkali-kali ketika mengunjungi umatmu? Bukankah baru kemarin aku datang menjemput keponakanmu sementara Engkau berada disana? Apakah Engkau tidak menyadari bahwa saat itu akulah yang datang?” Malaikat Maut balik bertanya.


Dari sekelumit kisah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa apabila kita menyaksikan ada kematian, itu adalah peringatan dari Malaikat Maut yang ditujukan kepada kita. Secara tersirat Malaikat Maut memberi sinyal bahwa giliran kita pun akan segera menyusul.

Dengan demikian, kita harus selalu mengingat kematian (Dzikrul Maut) dengan disertai persiapan menghadapi kematian itu. Sabda Rasulullah SAW, ”Manusia yang paling cerdik ialah yang terbanyak mengingat kematian, serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah yang benar-benar cerdik, dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim).

Dalam Hadits yang lain Rasulullah bersabda:


أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يَعْنِي الْمَـوْتَ

”Perbanyaklah mengingat penghancur segala kelezatan–yakni kematian.” (HR. Tirmidzi).

Menurut Abu Hamzah Al-Khurasani, seorang sufi pada abad ke-10, ”Barangsiapa telah merasakan ingat kematian, maka ALLAH akan menjadikan ia senang mencari pahala dan benci terhadap dosa.”


Pada saat manusia akan mati, didahului dengan saat datangnya malaikat pencabut nyawa yaitu Izrail, inilah yang disebut ’sakaratul maut’. Pada saat itu adalah saat-saat yang kritis dimana ruh sudah sampai di tenggorokan, ingatan, akal dan ilmu akan hilang; yang berfungsi hanyalah alam bawah sadarnya yang berpusat di hatinya.

Bila pada saat sakaratul maut ini manusia bisa menyebut kalimat tauhid yaitu ’Laa Ilaaha illallah’ maka dapat dipastikan manusia ini seorang ahli surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Barangsiapa pada akhir hayatnya menyebut Laa Ilaaha illallah, maka ia adalah ahli surga.” (HR. Hakim & Ibnu Hibban).



Pada kenyataannya, amat jarang orang yang mampu mengucapkan kalimat sakral tersebut dengan keikhlasan yang mendalam. Mengapa demikian? Marilah kita mencoba menelaahnya.

Secara fisik, pada saat orang akan meninggal, semua ingatan akal dan ilmu akan hilang, yang berfungsi hanyalah hatinya. Pada saat kritis ini, setan dan iblis berusaha sekuat tenaga untuk menggoda dan mengalihkan manusia dari mengingat ALLAH (mengucapkan Laa Ilaaha illallah). Mereka berusaha menggelincirkan manusia sehingga dia menjadi pengikut iblis dan masuk ke dalam neraka.

Sebenarnya selama manusia hidup di dunia, iblis senantiasa berusaha menjerumuskan manusia untuk menjadi penghuni neraka bersamanya. Dan pada saat sakaratul maut godaan iblis mencapai puncaknya karena inilah saat-saat akhir hidup seorang manusia, sehingga manusia benar-benar susah untuk mengingat ALLAH. Apalagi manusia yang selama hidupnya hanya mengejar dunia (kesenangan, harta, pangkat, wanita dan sebagainya), maka pada saat sakaratul maut, ia hanya mampu mengingat hal dunia itu dalam hatinya. Karena pada saat sekarat, hati hanya mampu mengingat apa-apa yang dicintainya atau apa-apa yang menjadi kebiasaannya yang berpengaruh kuat dalam jiwanya.



Oleh sebab itu, agar pada saat akhir hidup kita, hati kita menyebut Laa Ilaaha illallah, maka hati atau ruh kita itu harus dilatih untuk berdzikir kepada ALLAH sedari sekarang atau selama kita hidup di dunia ini, sehingga ruh kita itu diharapkan menjadi Nur Dzikrullah itu sendiri.

ALLAH berfirman dalam Al-Qur’an,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي


”Wahai jiwa yang lunak dan tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-NYA. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-KU, masuklah ke dalam surga-KU.” (QS. Al-Fajr : 27-30).

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dipanggil ALLAH untuk masuk ke dalam surga-NYA yaitu nafsul mutmainnah atau jiwa/ hati yang lunak dan tenang. Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara agar hati kita itu menjadi nafsul mutmainnah? Untuk menjawabnya marilah kita buka Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat 28, ”Ingatlah, hanya dengan mengingat ALLAH-lah hati menjadi tenang (tenteram).” Itulah jawabannya, hanya dengan Dzikrullah hati/ jiwa kita menjadi lunak dan tenang.



Dzikir hati atau disebut juga Dzikir sirr tidak segampang Dzikir lisan (dzikir yang dizaharkan), karena hati atau roh adalah unsur yang tidak kelihatan atau kasat mata. Disinilah perlunya bimbingan seorang Guru yang benar-benar expert di bidang rohani yang disebut juga Waliyam Mursyida.

Kalau kita membahas masalah ruh, maka kita ingat firman ALLAH dalam surat Al-Israa ayat 85, ”Ruh itu urusan-KU, kau tidak diberi pengetahuan tentangnya melainkan sedikit.”

Sebagai orang awam tentu kita tidak akan dapat mengetahui hakikat ruh ini. Namun bagi seorang Nabi dan para kekasih-NYA yang sudah terbuka hijabnya (mukasyafah), mereka diberi pengetahuan (ilmu ladunni) oleh ALLAH walaupun hanya sedikit. ’Sedikit’ menurut ALLAH tentu berbeda dengan pengertian ’sedikit’ menurut kita, orang awam. Wallahu a’lam.


Berikut uraian masalah kerohanian dari seorang Syekh sufi abad mutakhir yang bisa kita jadikan rujukan.

Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Pada saat kita mati, jasmani kita masuk ke bumi, tempat asal mula ia jadi, sedangkan rohani kita akan terbang ke alam baka (alam akhirat).

Ruh itu merupakan suatu “Zat” yang berasal dari Kurnia Tuhan, bukan berasal dari sebangsa cairan atau gas dan bukan pula berasal dari bumi. Ruh itu terpisah dari akal dan pikiran, bertempat pada dimensi lebih tinggi daripada akal/ pikiran dan jasmani manusia. Berarti kedudukannya lebih tinggi dari budi/ akal/ pikiran/ mental dan merupakan unsur tersendiri. Ruh merupakan alat untuk munajat kehadirat Ilahi bukan akal dan pikiran.

-Muhammad Amin-



Bahwa sesudah manusia meninggal dunia, maka mulailah Sang Ruh mempertanggung-jawabkan segala tindak tanduknya, segala gerak geriknya selama ini di dunia, selama ia diberi alat jasmani yang komplit dengan segala alat-alat pada tubuhnya yang sempurna. Apakah telah melaksanakan perintah ALLAH sepenuhnya? Apakah sudah melaksanakan fitrah hidupnya dengan sebaik-baiknya, telah mengabdikan segala-galanya (rohani dan jasmaninya), hidup dan kehidupannya untuk ALLAH SWT sepenuhnya?

Apakah sempat pula ia (Sang Ruh itu) tertipu oleh iblis laknatullah. Kalau ini yang terjadi jangan harap dapat masuk surga. Karena ruh manusia yang telah dikendalikan oleh iblis pasti pekerjaannya adalah merusak jagat raya ini.

Sebaliknya jika ruh-ruh manusia di dunia ini terisi oleh Kalimah ALLAH, maka pasti akan jadi surgalah jagat ini yang akan berkelanjutan terus hingga ke alam akhirat.

Oleh sebab itu, ruh kita mesti dan wajib diisi dengan Kalimah ALLAH. Untuk melaksanakan ini harus ada metodenya yang dalam Bahasa Arab disebut Thariqat.



Perhatikan sinonim yang dikemukakan oleh seorang Sufi Allah berikut:

Kemana larinya ruh, kalau manusia mati?

Kemana larinya cahaya api, kalau pelita habis minyaknya?

Tidak akan sampai pada matahari kecuali cahayanya.

Tidak akan sampai pada Tuhan kecuali Nur-NYA.

-Muhammad Amin-


Agar ruh kita kembali ke Tuhan (raji’un), kita harus menemukan Nur-NYA, karena hanya Nur inilah yang bisa sampai kepada Tuhan, seperti cahaya matahari yang bisa sampai pada Sang Matahari. Tanpa Nur ALLAH siapa pun tidak akan sampai pada ALLAH, baik ketika di dunia maupun ketika memasuki alam akhirat.

Nur ALLAH = Nurun ala Nurin (QS. An-Nur: 35) = Al-Wasilah (QS. Al-Maidah: 35) = Al-Buraq (Isra’ Mi’raj) yang terbit dari fiil, zat, sifat ALLAH SWT yang mempunyai kapasitas, frekuensi dan gelombang yang tak terhingga (~).


Nur ALLAH diberikan kepada Rasul-NYA yaitu Muhammad SAW, makanya beliau disebut Rahmatan lil alamin. Dan dalam kalimat syahadat nama beliau selalu disertakan dengan nama ALLAH. Dengan demikian, barangsiapa akan munajat kehadirat ALLAH harus menyertakan Unsur Muhammad. Caranya adalah dengan merabithkan ruh kita dengan ruh Rasul, inilah yang disebut Tawasul menurut ahli Sufi. Inilah inti dari Thariqat yaitu cara pelaksanaan teknis berdzikir pada ALLAH SWT dengan niat berhampir pada-NYA dan meraih ridha-NYA yang intinya adalah berdzikir kepada ALLAH SWT dengan disertakan Unsur Muhammad atau dalam keadaan bergabung dengan Unsur Muhammad. Karena Unsur Muhammad ini jaminan sebagai channel/ saluran yang HAQ, yang hanya merupakan satu-satunya channel/ saluran yang mempunyai frekuensi gelombang yang tak terhingga (~) yang diberikan ALLAH SWT yang mampu langsung menuju kehadirat-NYA yang dimensinya tak terhingga (~) itu.


Lantas sekarang timbul pertanyaan lagi, bagaimana caranya untuk mendapatkan Unsur Muhammad ini atau bagaimana caranya menggabungkan ruh kita dengan ruh Rasul? Bukankah Rasulullah telah berlindung sejak 15 abad yang lalu?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita gunakan Dalil Naqli dan Dalil Aqli. Hadits Nabi mengatakan, “Ulama adalah Pewaris Nabi.“

Pewaris disini menurut kalangan Tasawuf, bukan saja mewarisi ilmu dan sifat-sifat Nabi, tapi juga mewarisi isi dada (ruhani) Nabi. Jadi Ulama yang dimaksud Hadits adalah orang yang mewarisi ilmu, sifat dan juga isi kalbu Nabi yang berisi Nurun ala Nurin. Dengan sendirinya Ulama ini ruhaninya selalu bergabung dengan ruhani Rasulullah sehingga mendapat kurnia berupa Nurun ala nurin yahdillahi linurihi man yasya’u.



Dalam Hadits yang lain Rasulullah bersabda, “Adakanlah (jadikanlah) dirimu itu beserta ALLAH, jika engkau (belum bisa) menjadikan dirimu beserta ALLAH, maka adakanlah (jadikanlah) beserta orang-orang yang beserta ALLAH, maka sesungguhnya (orang itulah) yang menghubungkan engkau kepada ALLAH (yaitu ruhaninya).“ (HR. Abu Dawud).

Dari dua buah Hadits di atas, jelaslah bahwa jika kita akan berhampir kehadirat ALLAH, maka kita harus berhampir dengan orang-orang yang telah beserta ALLAH, karena orang-orang itulah yang telah mendapat Kurnia dari ALLAH berupa NUR ALLAH. Dengan berhampir/ bergabung/ berimam-imam kepada orang-orang itu (Ulama) diharapkan Nur ALLAH mengalir pula kepada diri kita sehingga kita bisa sampai kehadirat-NYA.



Pembaca yang dimuliakan ALLAH,

Secara akal, dapat dicontohkan dengan listrik. Adanya listrik karena ada pembangkitnya, kemudian dari pembangkit ini dialirkan melalui gardu induk, transformator, hingga sampai ke rumah kita. Yang dialirkan adalah listrik dan penghantarnya adalah kawat-kawat (kabel). Kalau kita pegang kawatnya, maka kita akan dapat setrum (listrik).

Itulah analogi ALLAH, Rasulullah dan para pewarisnya serta Nur ALLAH. ALLAH memberikan Nur-NYA kepada Rasulullah dan Rasulullah mewariskannya pada para Ahli Silsilahnya (Ulama). Tiap-tiap Ahli Silsilah mempunyai murid (pengikut) sehingga pengikut para Ahli Silsilah ini juga mendapat limpahan karunia berupa Nur ALLAH. Karena mereka berhampir pada orang yang rohaninya telah berisi Nur ALLAH (Kalimah ALLAH) sebagaimana listrik dan kawat di atas.



Demikianlah penjelasan mengenai bagaimana cara menghampirkan diri pada ALLAH SWT. Tidak lain dan tidak bukan dengan cara berdzikir kepada ALLAH dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dengan merendahkan diri dan rasa takut, dzikir dalam hati (rohani) dengan metode (thariqat) yang benar. Kalau kita bisa berdzikir demikian dengan istiqomah, maka pada saat sakaratul maut kita tidak lagi takut, tidak lagi sulit mengucap kalimat Laa Ilaaha Illallah karena selama hayat kita di dunia, dzikrullah itu telah kita latih sedemikian rupa, sebanyak-banyaknya dan tak henti-hentinya (istiqomah) dengan metode yang tepat, sehingga dzikrullah itu telah meraga sukma dalam diri kita, tembus hingga ke alam di bawah sadar dan alam di atas sadar kita.



Semoga kita termasuk golongan yang istiqomah di jalan ALLAH dan masuk golongan yang duduknya sederetan dengan para Nabi, para Syuhada dan para Sholihin dan Shiddiqin yang telah mendapat kurnia yang besar dari ALLAH SWT.

Wallahu a’lam.






0 komentar:

Post a Comment

thanks... comment nya yaaa/....